Pencarian

Kamis, 17 November 2011

Makalah Hukum Asuransi


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pada dasarnya setiap manusia tidak menginginkan sebuah resiko kerugian dalam hidupnya. Untuk itu mereka berusaha untuk meminimalkan resiko yang akan mereka alami. Namun walaupun sudah berusaha meminimalkan resiko, masih saja hal – hal tertentu diluar rencana yang mengakibatkan resiko itu terjadi. Maka muncullah perusahaan yang menjalankan usahanya di bidang pertanggungan atau biasa disebut Perusahaan Asuransi.
Di Indonesia sekarang ini baru tenar – tenarnya adalah Asuransi Syariah. Dimana Asuransi Syariah tergolong masih asing ditelinga kita. Oleh sebab itu pada kesempatan ini kami akan mencoba membahas mengenai Asuransi syariah dan perbedaan dengan Asuransi konvensional. Selain itu makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Hukum Asuransi.
B.       Rumusan Masalah
Ada beberapa hal yang akan kami bahas dalam makalah ini, diantaranya adalah :
1.      Pengertian Asuransi Asuransi Syari’ah
2.      Pengelolaan Resiko dalam Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
3.      Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
C.      Tujuan
Penyusunan makalah ini memiliki beberapa tujuan yang ingin di capai, yaitu adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
2.      Mengetahui bagaimana pengelolaan resiko dalam Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
3.      Mengetahui Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
            Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep Takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata ”kafala yakfulu” yang artinya tolong menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Takaful yang berarti saling menanggung/memikul resiko antar umat manusia merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Saling pikul resiko inidilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’min, takaful’ atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/ premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta.
Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung resiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syari’ah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer resiko (transfer of risk atau “memindahkan resiko”) dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional.
Peranan perusahaan asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.
Jadi pada asuransi syariah, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.
Asuransi Syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun, yaitu prinsip hidup yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.
B.  Pengelolaan Resiko dalam Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
       Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance,dan secara aspek hukum telah dituangkan dalam Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246, "Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu."
       Selain dalam KUHD pasal 246, juga dalam Undang – undang asuransi No. 2 tahun 1992 pasal 1 disebutkan Äsuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hokum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu peristiwa pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Pengertian lain, seperti dari Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum asuransi di Indonesia memberi pengertian asuransi sebagai berikut : "suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas".
       Robert I. Mehr dan Emerson Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi. D.S. Hansell, dalam bukunya Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with risk). Dalam asuransi konvensional perusahaan asuransi disebut Penanggung, sedangkan orang yang membeli produk Asuransi disebut Tertanggung atau Pemegang Polis, Tertanggung membayar sejumlah uang yang disebut premi untuk membeli produk yang disediakan oleh perusahaan asuransi . Premi asuransi yang dibayarkan oleh Tertanggung menjadi pendapatan perusahaan Asuransi, dengan kata lain terjadi perpindahan kepemilikan dana premi dari Tertanggung kepada Perusahaan Asuransi. Bila Tertanggung mengalami risiko sesuai dengan yang Tertuang dalam kontrak asuransi, maka Perusahaan Asuransi harus membayar sejumlah dana yang disebut Uang Pertanggungan kepada Tertangggung atau yang berhak menerimanya. Sebaliknya bila sampai akhir masa kontrak Tertanggung tidak mengalami risiko yang diperjanjikan maka kontrak Asuransi berakhir maka semua hak dan kewajiban kedua belah pihak berakhir. Dari proses diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi perpindahan risiko financial yang dalam istilah asuransi disebut dengan transfer of risk dari Tertanggung kepada Penanggung.
       Contoh, ketika seseorang membeli polis asuransi kebakaran untuk rumah tinggal dia akan membayar uang (premi) yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, disaat yang sama perusahaan asuransi akan menanggung risiko finansial bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut. Contoh lain dalam asuransi jiwa, ketika seseorang membeli asuransi kematian (term insuransce) dengan jangka waktu perjanjian 5 (lima) tahun dengan uang pertanggungan 100 juta rupiah, maka dia harus membayar premi yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi (misal 500 ribu rupiah) per tahun, artinya bila tertanggung meninggal dunia dalam masa perjanjian diatas, maka ahli waris atau orang yang ditunjuk akan memperoleh uang dari perusahaan asuransi sebesar 100 juta, namun bila peserta hidup sampai akhir masa perjanjian maka dia tidak akan memperoleh apapun.
       Ditinjau dari sudut syariah, contoh transaksi yang terjadi diatas dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli (pertukaran atau jual beli), namun cacat karena ada unsur gharar (ketidakjelasan), yaitu tidak jelas kapan pemegang polis akan mendapatkan uang pertanggungan karena dikaitkan dengan musibah seseorang (bisa tahun pertama, kedua atau tidak sama sekali karena masih hidup di akhir masa perjanjian). Ketika unsur gharar terjadi maka terdapat juga unsure maisir (perjudian), karena dari transaksi diatas apabila terjadi klaim, perusahaan asuransi akan membayar uang pertanggungan kepada peserta jauh lebih besar dibanding dari premi yang diberikan oleh peserta tersebut, juga sebaliknya bila peserta tidak mengalami risiko yang diperjanjikan, maka dia akan kehilangan semua premi yang telah dibayarnya.
       Dalam asuransi syariah, tidak mengenal pengalihan risiko (transfer of risk) yang digunakan adalah pembagian risiko (sharing of risk). Dengan konsep pembagian risiko, yang saling menanggung risiko adalah para peserta itu sendiri bukan perusahaan asuransi, sehingga perusahaan asuransi bukan sebagai penanggung tetapi berfungsi sebagai pemegang amanah, juga peserta tidak membeli polis tetapi memberikan donasi/derma (dalam asuransi syariah sering dinamakan tabarru') yang diniatkan untuk tolong menolong diantara peserta bila terjadi musibah, juga tidak terjadi pengalihan kepemilikan dana, yang ada adalah pengumpulan dana atau pooling of fund.
       Contoh, ketika seorang peserta mengikuti asuransi kebakaran; untuk rumah tinggal, dia akan memberikan kontribusi dana (ditentukan oleh perusahaan asuransi syariah) yang diniatkan untuk tolong menolong diantara peserta, perusahaan asuransi syariah akan memasukkan dana tersebut kedalam suatu kumpulan dana peserta (rekening khusus), bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut maka perusahaan (sebagai wakil dari peserta) akan mengambil dana dari rekening khusus diatas dan memberikannya kepada peserta yang mengalami musibah, namun bila tidak terjadi musibah kebakaran terhadap tempat tinggal peserta diatas, dan masih ada kelebihan dana pada rekening khusus diatas, maka ada pengembalian sebagian dana tersebut.
C.  Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah
       Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
       Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
       Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak - pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
       Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
       Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
       Gharar/ ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
       Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
       Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.  
       Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
       Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
       Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
       Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan."
       Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
       Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
       Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)
       Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
       Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
       Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.
       Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.
       Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa antara asuransi syariah dan asuransi konvensional memiliki banyak perbedaan. Kita tidakbisa menentukan mana yang baik dan buruk, karena antara asuransi syariah dan asuransi konvensional masing - masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Yang pasti setiap orang bebas memilih untuk menggunakan jasa asuransi yang mana tergantung pilihan.
B.  Saran
Agar dalam pelaksanaan kedua jenis asuransi tersebut sesuai dengan konsepnya dan tidak ada pelanggaran di lapangannya. Maka hal ini harus menjadi tugas dari semuanya agar tercipta keadilan yang sebenarnya. Dan mungkin dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sepurna, oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun kami perlikan untuk penyusunan makalah yang lebih baik kedepannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar